Minggu, 27 Juni 2010

Guru dan Karakter Bangsa



Oleh: Zaenal Arifin, S.Pd.

Guru SMPN 2 Kroya

Saat ini menjabat sebagai Sekretaris ISPI Cilacap


“Kedisiplinan yang rendah, ketenggangrasaan yang meluntur, keramahan yang menipis, kepekertian yang memudar, keteladanan yang menghilang, dan prestasi yang rendah merupakan merupakan cermin dunia pendidikan kita akhir-akhir ini” (Ki Supriyoko).

Seolah membenarkan pendapat Ki Supriyoko di atas, hari Rabu, tanggal 23 Juni 2010 yang lalu, SMP Purnama 2 Cilacap mengadakan Seminar Nasional bertajuk Peran Satuan Pendidikan dalam Menanamkan Pendidikan yang Berbasis Karakter Bangsa. Dalam seminar tersebut mengemuka anggapan yang kuat bahwa karakter bangsa: disiplin, tenggang rasa, ramah, budi pekerti, dan keteladanan telah hilang dari dunia pendidikan. Kasus-kasus yang menimpa dunia remaja dewasa ini semakin menguatkan anggapan tersebut. Narkoba, perkelahian, seks bebas, asusila, bahkan tindak kriminal merupakan sesuatu yang marak terjadi di kalangan remaja kita.

Di mana peran pendidikan formal dalam mereduksi masalah-masalah itu? Barangkali tidak salah jika sebagian besar masyarakat menuding bahwa pendidikan formal telah gagal dalam mencetak murid yang memiliki karakter bangsa. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan kegagalan tersebut, yaitu manajemen sekolah dalam mengaktualisasikan visi sekolah dan keteladanan guru.

Aktualisasi Visi Sekolah

Sejak era MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), setiap sekolah diharuskan memiliki visi sekolah, di mana visi itu dijadikan ‘ruh’ dari perjalanan sekolah dalam menjalankan perannya. Atau bisa dikatakan visi sekolah adalah jiwa seluruh perangkat kerja sekolah (termasuk program kerja sekolah) dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sejak saat itu pula, seluruh sekolah telah menyusun visinya. Banyak pula di antaranya yang menyelipkan aspek karakter bangsa di dalam visi sekolahnya.

Sebuah sekolah menyusun visinya “Membentuk Generasi yang Berkompetensi Tinggi, Beriman, Santun, dan Mandiri”. Sekolah yang lain visinya “Unggul dalam Prestasi, Santun dalam Perilaku”. Dari visi dua sekolah tersebut, nampak bahwa pembentukan karakter bangsa pada siswa di sekolah itu, sangat kuat menjiwai langkah kerja sekolah itu. Berkompetensi/berprestasi tinggi adalah dalam rangka mengejar aspek kognitif, dan aspek afektif tercermin dari visi beriman, santun, dan mandiri. Jika visi sekolah tersebut diaktualisasikan dengan optimal, saya kira kondisi pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Ki Supriyoko di atas tidak terjadi.

Pada kenyataannya, visi sekolah saat ini, sebagian besar hanyalah simbol atau slogan belaka. Aktualisasinya dalam kebijakan sekolah terbilang rendah. Sebagian besar sekolah hanya mengedepankan aspek kognitifnya (prestasi akademik) dan melupakan aspek lainnya.

Keteladanan Guru

Hal lain yang juga mengemuka dalam seminar nasional di atas adalah rendahnya keteladanan guru. Guru merokok di kelas, guru terlambat datang ke sekolah (atau masuk ke kelas), guru yang tidak berpakaian semestinya, guru yang kurang menguasai materi yang disampaikan kepada siswa, barangkali adalah pemandangan jamak yang terjadi di sekolah.

Sejak dulu, guru selalu menjadi anutan tidak hanya siswa di sekolah, tetapi juga masyarakat di luar sekolah dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, tidak salah jika Ki Hajar Dewantara menciptakan semboyan bagi guru: ing ngarso sung tuladha (di depan memberi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani(di belakang memberi dorongan).

Rasulullah SAW, ketika memerintahkan kebaikan, maka beliaulah orang pertama yang menjalankannya, dan ketika memerintahkan manusia menjauhi kejahatan, maka beliaulah orang pertama yang menjauhinya. Dalam ajaran Rasulullah SAW ini, kesesuaian perkataan dan perbuatan adalah hal yang sangat penting. Ketika guru menyampaikan tata tertib sekolah, maka gurulah orang pertama yang harus menegakkan peraturan tersebut pada dirinya. Ketidaksesuaian antara perkataan dengan perbuatan yang dilakukan guru hanya akan membuat murid bingung, dan akhirnya tidak menghiraukan perkataan tersebut.