Senin, 30 Agustus 2010

PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN DITERAPKAN BERPUISIPUN JADI MENYENANGKAN



Oleh: Mahmud Saefi, M.Pd.

Ada kegelisahan yang dirasa oleh penulis ketika mengajar apresiasi puisi di kelas. Mengapa sebagian besar sikap siswa tampak pasif, kurang antusias mengikuti pembelajaran dan daya apresiasi puisi siswa kurang optimal? Berawal dari kondisi itu penulis mencoba menggali penyebab akar permasalahan melalui sharing dan diskusi dengan rekan guru serta informasi dari siswa.
Hasil diskusi dengan guru serumpun, wawancara dan isian angket siswa mengindikasikan bahwa penyebab kompetensi apresiasi puisi siswa belum optimal adalah strategi pembelajaran apresiasi puisi yang selama ini digunakan kurang tepat. Hal itu disebabkan oleh: (1) penyampaian materi terlalu banyak menggunakan metode ceramah; (2) materi apresiasi puisi masih terbatas pada aspek pengetahuan yang bersifat teoritis saja; (3) siswa jarang dilibatkan secara langsung. Oleh karena itu penulis melakukan perbaikan proses pembelajaran dengan menerapkan suatu strategi pembelajaran yang menarik, inovatif dan menyenangkan. Perbaikan dilakukan penulis dengan menerapkan strategi pembelajaran apresiasi sastra berbasis lingkungan. Upaya tersebut dilakukan penulis melalui penelitian tindakan yang berkolaborasi dengan seorang guru serumpun. Lingkup materi tindakan dilakukan pada kompetensi dasar menulis kreatif puisi berkenaan dengan lingkungan. Hasil penelitian ini telah membawa dampak yang positif terhadap kualitas pembelajaran di kelas maupun kompetensi penulis dalam memperbaiki strategi pembelajaran. Melalui forum yang baik ini penulis ingin sedikit berbagi pengalaman.
Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu penulis bersama kolaborator melakukan perencanaan. Kegiatan perencanaan yang dilakukan penulis meliputi kegiatan: merancang skenario pembelajaran, menyusun rencana pembelajaran (materi menulis puisi dengan tema lingkungan berdasarkan silabus), mempersiapkan: media visual teks puisi yang sudah dikenal siswa, foto objek lingkungan, LCD proyektor, instrumen yang akan digunakan, serta menyimulasikan skenario pembelajaran di kelas yang akan diteliti.

Pembelajaran Menulis Puisi Berbasis Lingkungan
Pembelajaran berbasis lingkungan (PBL) merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar. Strategi ini merupakan salah satu strategi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Filosofinya, kegiatan pembelajaran menjadi menarik, siswa menjadi senang dan aktif karena apa yang dipelajari diangkat dari lingkungan, apa yang dipelajari berhubungan dengan kehidupan di sekitar siswa. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa berhadapan langsung dengan objek yang sebenarnya. Penulis menerapkan pembelajaran menulis puisi berbasis lingkungan ini melalui dua strategi.

1. Pembelajaran menulis puisi dilakukan dengan membawa sumber dari lingkungan ke dalam kelas.
Sumber lingkungan yang dibawa penulis ke dalam kelas berupa foto-foto objek lingkungan alam. Objek tersebut ditayangkan menggunakan LCD Proyektor . Kegiatan siswa di sini adalah mengamati tayangan objek tersebut, mencatat apa saja yang teramati lalu menuangkan dalam bentuk kosakata. Seiring siswa menyimak tayangan pada layar monitor, penulis memperdengarkan iringan alunan musik instrumental yang sayup-sayup lembut. Selesai siswa menuliskan kosakata dilanjutkan kegiatan merangkai kosakata. Kosakata tersebut digunakan sebagai kata kunci untuk dikembangkan menjadi larik-larik puisi. Siswa yang sudah selesai menuliskan puisi, diminta untuk membacakan hasil ciptaan puisinya ke depan kelas. Siswa yang lain diminta memberikan tanggapan terhadap karya puisi yang baru saja dibacakan. Hal-hal yang ditanggapi siswa berkaitan dengan bagaimana isi puisi, pilihan kata, dan rima.
2. Kegatan menulis puisi dilakukan di luar kelas.
Sebelum pembelajaran di luar kelas dilakukan terlebih dahulu diberikan instruksi yang jelas tentang hal-hal yang harus dilakukan siswa selama di luar kelas, misalnya siswa diminta mengamati objek yang ada di lingkungan sekolah, mencatat objek yang dilihat, didengar, maupun dirasakan saat itu. Urutan kegiatan sebagai berikut.
a. Siswa diajak mengamati lingkungan yang ada di sekitar sekolah. Siswa diberi kebebasan untuk mengamati objek yang ada di lingkungan sekolah, mulai dari keindahan taman di depan sekolah, gedung sekolah, sawah di belakang sekolah, taman di depan kelas, maupun halaman upacara. Siswa bebas menuangkan ide dan imajinasinya melalui kegiatan pengamatan secara langsung.
Hasil pengamatan tersebut dituangkan secara tertulis ke dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana, yang selanjutnya dirangkai menjadi sebuah cerita. Nah, dari isi cerita itu siswa diminta membuat puisi dengan tetap memperhatikan kesesuaian isi, pemilihann kata/diksi yang tepat maupun rima/ sajak yang menarik. Hasil unjuk kerja dikumpulkan untuk dikoreksi. Pada akhir pertemuan siswa diberi tugas mengamati keindahan alam di sekitar tempat tinggal siswa sebagai pengayaan latihan menulis puisi minimal satu bait.
b. Siswa menyunting karya sendiri
Hasil unjuk kerja menulis puisi dibagikan (pada pertemuan berikutnya) untuk disunting siswa. Hal yang perlu disunting terutama pada segi pilihan kata. Pilihan kata yang harus disunting siswa telah terlebih dahulu ditandai atau dilingkari. Penyuntingan dapat berupa menghilangkan kosakata yang tidak perlu, mengganti dengan kosakata yang lain yang lebih puitis ataupun mengubah struktur kalimatnya. Hasil puisi siswa yang telah disunting dikumpulkan kembali untuk dipilih tiga karya terbaik. Karya terbaik dibacakan di depan kelas. Siswa yang lain mengapresiasi, memberikan komentar atau tanggapan secara lisan. Tiga karya terbaik dipajang pada majalah dinding sekolah sebagai penghargaan. Karya siswa yang lain didokumentasikan untuk bahan antologi puisi.

Dampak Tindakan Terhadap Siswa
1. Keaktivan siswa dalam proses belajar menjadi lebih baik
Peningkatan keaktivan siswa tampak dari persentase siswa yang melakukan aktivitas positif selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Aktivitas tersebut berupa aktivitas verbal maupun nonverbal, antara lain: (1) bertanya, (2) menjawab pertanyaan, (3), berpendapat/memberikan komentar, mengerjakan tugas, (4) berlatih menulis puisi.
2. Kompetensi kognetif siswa meningkat
Peningkatan kompetensi kognetif menulis puisi dapat diketahui dari hasil tes tertulis dan unjuk kerja. Hasil tes tertulis menunjukkan, siswa dapat menemukan unsur-unsur pembangun puisi. Kompetensi kognetif mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Nilai rata-rata kelas meningkat setelah diberi tindakan. Hasil unjuk kerja menulis puisi menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata kelas pada setiap indikator. Peningkatan terjadi terutama pada indikator kesesuaian isi dengan tema, rima yang menarik, dan diksi yang tepat. Selain itu, juga terjadi peningkatan pada jumlah kosakata dan jumlah kalimat yang diproduksi siswa.
3. Kompetensi Afektif Siswa Semakin Baik
Sikap siswa ketika guru membacakan puisi atau ketika siswa membacakan hasil karya puisinya di depan kelas rata-rata baik. Para siswa menghargai dan menikmati saat puisi sedang dibacakan. Siswa pun mampu menilai karya siswa lain yang dianggap paling baik dari setiap kelompok. Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran menulis puisi berbasis lingkungan. Melalui strategi ini siswa mampu mengembangkan daya imajinatif, sikap kepedulian dan kesadaran siswa terhadap lingkungan sekitar serta menumbuhkan rasa syukur kepada sang Pencipta.

• Penulis adalah Sekretaris II ISPI Cilacap, Guru RSBI SMP N 5 Cilacap
• Korespondensi Email: masephy@ymail.com
• Contact Person (0282) 542119, HP 085647746459
• Action research Peningkatan Menulis Puisi Melalui Pembelajaran Apresiasi Sastra Berbasis Lingkungan Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 5 Cilacap catatan review hasil action research guru SD dan SMP RSBI yang diselenggarakan tanggal 16-19 Oktober 2009 di Semarang.
• Biodata:
Nama Lengkap: Mahmud Saefi, MPd
NIP: 19660302 198911 1 002
Tempat, Tgl. Lahir: Cilacap, 2 Maret 1966
Unit Kerja: SMP Negeri 5 Cilacap
Alamat: Jl. Ketapang No. 73 Gumilir Cilacap Utara 53231

POST POWER SYNDROME


Oleh : FX. Suparta

Bagi yang baru memulai karir, Post Power Syndrom bisa jadi belum pernah terlintas di benaknya. Seandainya pernah menyelinap di sanubari –pun, mungkin orang akan mengatakan ”Ah, itu sesuatu yang masih lama, dan belum tentu saya menjadi buruk karenanya, mengapa harus dipikirin? Daripada energi tercurah buatnya, lebih baik buat mengembangkan diri dalam karir”. Namun bagi mereka yang mendekati purna tugas, atau putus hubungan kerja (PHK) atau bagi mereka yang kehilangan jabatan, realita itu secara signifikan bisa menyita energi dan waktu hidupnya untuk menyikapinya.
Post Power Syndrom adalah syndrom atau gejala-gejala pasca kekuasaan. Gejala yang terjadi pada orang-orang yang tidak lagi menjabat di sebuah orgasisasi/perusahaan. Gejala itu bisa menyeruak pada ranah psikis maupun fisik, dan berpengaruh pada tingkah lakunya. Gejala ini pada umumnya bersifat negatif. Orang yang mengalami Post power Syndrom, secara psikis emosinya dapat menjadi labil, mudah tersinggung, merasa kesepian, dan adanya perasaan tidak berharga. “Saya sudah pernah menjadi peserta terbaik di diklat regional dan sudah menorehkan banyak prestasi, toh tidak kepakai juga”, kilah seorang yang kehilangan jabatannya.
Secara fisik, mereka yang mengalami post power syndrome nampak sering sakit-sakitan, tampak murung dan tubuh menjadi lemah. Pancaran pesona diri seakan ditelan mendung fakta kehidupan yang mereka hadapi. Perilaku sosial, mereka cenderung untuk menarik diri dari pergaulan, mereka mudah terjebak pada pola-pola kekerasan, baik berupa kata, ataupun tindakan. Kontrol diri menjadi rentan karena dominasi emosi atas rasionya. Namun, seluruh gejala itu bobotnya berbeda bagi masing masing orang yang mengalaminya.
Semua realitas di atas dapat terjadi karena pada diri seseorang mengalami krisis pertumbuhan. Mereka mengalami diri tidak berdaya ketika berhadapan dengan fakta bahwa jabatan dapat datang dan pergi. Mereka dengan senang hati menyambut jabatan baru tetapi mereka tidak siap diri ketika kehilangan jabatan yang dimiliki. Hidup yang mendasarkan harga diri pada sebuah jabatan akan mengalami kehampaan makna ketika jabatan itu tidak lagi melekat pada dirinya.

Apa yang harus dilakukan?
Semua orang yang pernah berkarir mendambakan post power happy, tetapi fakta menunjukkan banyak orang tidak mudah untuk merengkuhnya. Dan yang terjdi adalah post power syndrom. Hal itu terkait dengan berkurangnya pengaruh mereka dalam kehidupan (atau sekurang-kurangnya menurut anggapan mereka sendiri) dan berkurangnya perolehan financial akibat dari hilangnya jabatan mereka. Tidak mudah memang, tetapi menurut penulis ada langkah-langkah antisipatif yang bisa mengurangi dampak negative dari post power syndrome, sebagai berikut.
Pertama, membangun kesadaran signifikan dan Kontinyu bahwa Jabatan adalah amanah/titipan-Nya. Sebuah titipan pasti suatu ketika di minta kembali. Titipan tidak pernah abadi. Ada saatnya diberi, dan ada saat diambil. Kewajiban yang dititipi adalah menjaga agar titipan itu tetap baik dengan cara membuka tangan dan hatinya digunakan sebagai perpanjangan Tangan dan Hati-Nya.
Kedua, menjaga diri dari semangat hidup yang mendewakan materi, dan konsumerisme. Dengan semangat hidup sederhana selama menjabat, dapat mengantisipasi hal-hal financial ketika harus kehilangan jabatan.
Ketiga. memgembangan kesadaran bahwa dalam keadaan apapun juga: senang-sedih, suka-duka, untung-malang, punya jabatan atau tidak, setiap orang tetap dicintai oleh Penciptanya. Ungkapan bijak mengajarkan kepada manusia untuk meresapkan dan melihat dengan seksama, betapa baik-Nya Tuhan. Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak mengurangi satu inchi-pun kasih-sayang Nya kepada ciptaan-Nya. Dia menunggu rasa syukur ciptaan-Nya menjadi penuh dalam segala hal. Manusia yang senantiasa memuji dan bersyukur kepada-Nya dalam segala hal dapat menyembuhkan luka-luka batinnya.
Keempat membangun jiwa yang ikhlas. Dengan menyiapkan secara baik “anak-buahnya” untuk menjadi pemimpin masa depan ketika menjabat, melatih diri menjadi ikhlas ketika suatu ketika jabatan itu diambil darinya.
Kelima, menggunakan momentum selama menjabat sebagai deposito kebajikan, sehingga tangki emosinya dipenuhi oleh kekayaan batin yang berharga. Dan, ketika bencana emosional melandanya, tangki emosi itu tidak kekurangan ungkapan kepasrahan kepada-Nya dengan berkata “Pada –Mu kuserahkan yang Kau- minta, “
Ke enam, tetap berkarya meski berduka, tetap semangat meskipun gairah meredup, dan tetap berbakti meskipun sedang diuji adalah pertanda kekuatan karakter seseorang. Sebab kebenaran mengajarkan bahwa orang bekerja tidak mengabdi pada jabatan, melainkan jabatan harus melayani kesejahterakan hidup sesama. Dan bila begitu tunggu apa lagi, soal rejeki ada ditangan-Nya .Seseorang hanya diminta mengenali rahasia kemurahan-Nya dengan bekerja, mengeksplorasi potensi diri dengan kesungguhan dan dengan ketulusan.
Ketujuh, menghentikan cerita lama tentang sukses menjalani kekuasaan dan menggantinya dengan kisah baru berupa rencana-rencana matang melayani kehidupan, sebab hidup tidak bergerak mundur melainkan ke depan, yang memiliki problematikanya sendiri. Dan benarlah ungkapan bahwa seseorang yang ingin menjadi besar hendaknya menjadi pelayan mereka yang kecil.
Selain ketujuh upaya di atas, adanya dukungan empatif dari keluarga, lingkungan dan teman sejawat /koleganya, membantu meringankan beban batinnya untuk bangkit menyongsong pekerjaan baru bagi perkembangan hidup yang lebih bermakna. Semoga.

Penulis adalah mantan Kepala Sekolah,
Sekarang bertugas sebagai guru SMP N 2 Kroya.

Kamis, 26 Agustus 2010

Ekuivalensi Jam Mengajar Bagi Wali Kelas dan Pembantu Kepala Sekolah



Oleh: Mirza Gholam Mokhammad
Ketua Umum ISPI Cabang Cilacap


Tugas yang diemban seorang wali kelas tidaklah ringan. Mereka harus melaksanakan fungsi-fungsi pendampingan, pembinaan, dan administratif untuk sebuah kelas yang merupakan himpunan siswa dengan permasalahannya masing-masing agar seluruh siswa mencapai hasil yang optimal selama mengikuti pendidikan.
Demikian juga bagi guru yang mendapat tugas khusus dari kepala sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajerialnya di sekolah (SMP/MTs) yang hanya memiliki seorang wakil kepala sekolah.
Untuk tampil sebagai seorang guru yang profesional -yang mampu melaksanakan tugas-tugas pokok keguruannya dengan baik- bukan persoalan yang ringan bagi seorang guru. Maka tugas tambahan yang diemban guru di luar tugas pokoknya sebagai guru, jelas membuat beban guru tersebut semakin berat.
Saya rasa semua guru tahu bahwa pekerjaan yang harus dilakukan oleh wali kelas dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tidak hanya pada saat-saat penerimaan rapot saja. Tugas-tugas pendampingan dan pembinaan, dan bahkan sebagian tugas administratif wali kelas berjalan sepanjang tahun, mulai awal tahun hingga akhir tahun pelajaran. Demikian juga pekerjaan yang harus dilakukan oleh guru yang diberi tugas khusus membantu kepala sekolah.
Memang tugas-tugas di atas telah dihargai dengan angka kredit untuk kenaikan jabatan guru, tapi bukankah kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan juga sebagian petugas-petugas lain di sekolah juga sudah diberi penghargaan angka kredit?
Oleh karena itu, menurut penulis, tugas guru sebagai wali kelas dan sebagai petugas pembantu kepala sekolah selayaknya diberi penghargaab dengan ekuivalensi jam pelajaran. Kalau guru yang diberi tugas sebagai wakil kepala sekolah dihargai setara dengan mengajar 12 jam pelajaran, dan kepala sekolah 18 jam pelajaran perminggu, barangkali tugas-tugas wali kelas dan pembantu kepala sekolah dapat disetarakan dengan mengajar 6 jam pelajaran perminggu.
Hal ini penting dilakukan, karena kalau tidak, pasti guru memilih tidak mendapat tugas tambahan tersebut. Semua guru dalam satu sekolah yang mendapat tugas tambahan tersebut akan merasa keberatan, 'mengapa saya yang diberi tugas, dan bukan dia?
Semoga menjadi pemikiran bagi pihak-pihak terkait.

Penulis adalah mantan Kepala SMP Negeri 2 Kroya, sekarang sebagai Pengawas Sekolah di Disdikpora Cilacap